Subscribe:

Intisari Materi



Orang yang merenungkan sekelilingnya dengan kritis dan bijaksana akan menyadari bahwa segala sesuatu di alam semesta ini — benda hidup atau-pun mati — pasti diciptakan. Sehingga pertanyaannya adalah: “Siapakah pencipta semua ini?”

Oleh karena itu, kita berkesimpulan: segala sesuatu yang kita lihat telah diciptakan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang kita lihat dapat menjadi “pencipta” diri sendiri. Pencipta berbeda dan lebih unggul daripada semua yang kita lihat. Kekuatan Pencipta tidak terlihat tetapi keberadaan dan tanda-tandanya terungkap dalam segala sesuatu yang ada di alam.


Dunia Sinyal-Sinyal Elektris

Semua informasi yang kita miliki tentang dunia tempat kita hidup disampaikan kepada kita melalui lima indra kita. Dunia yang kita ketahui terdiri dari apa yang dilihat mata, diraba tangan, dicium hidung, dikecap lidah, dan didengar telinga kita. Kita tidak pernah berpikir bahwa dunia “luar” mungkin berbeda dengan apa yang disampaikan indra kepada kita, karena kita telah bergantung hanya kepada kelima indra tersebut sejak lahir.
Akan tetapi, penelitian modern dalam berbagai bidang ilmu menunjukkan pemahaman sangat berbeda dan menimbulkan keraguan serius tentang indra kita serta dunia yang kita pahami dengannya.

Titik awal pendekatan ini adalah bahwa gagasan “dunia luar” yang terbentuk dalam otak kita hanya sebuah respon yang diciptakan oleh sinyal-sinyal elektris. Merahnya apel, kerasnya kayu, bahkan, ibu, ayah, keluarga Anda dan segala sesuatu yang Anda miliki, rumah, pekerjaan, kalimat-kalimat dalam buku ini, hanya terdiri atas sinyal-sinyal elektris.

Frederick Vester menjelaskan apa yang telah dicapai il-mu pengetahuan tentang subjek ini:
Pernyataan-pernyataan beberapa ilmuwan bahwa “manusia adalah sebuah citra, segala sesuatu yang dialaminya bersifat sementara dan menipu, dan alam semesta ini adalah bayangan”, tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan mutakhir.


Filsuf terkemuka George Berkeley mengomentari per-masalahan ini sebagai berikut:
Kita mempercayai keberadaan objek-objek hanya karena kita melihat dan menyentuhnya, dan objek-objek ini direfleksikan kepada kita oleh persepsi kita. Akan tetapi, persepsi kita hanya-lah ide-ide di dalam otak. Oleh karena itu, objek yang kita tangkap dengan persepsi tidak lain hanya ide-ide, dan ide-ide ini pada dasarnya hanya ada di dalam pikiran kita sendiri.... Karena semua ini hanya ada di dalam pikiran, berarti kita telah tertipu ketika membayangkan bahwa alam semesta dan segala sesuatu memiliki eksistensi di luar pikiran kita. Jadi tidak ada sesuatu pun di sekeliling kita yang memiliki eksistensi di luar pikiran kita.

Untuk memperjelas permasalahan ini, mari kita pikirkan indra penglihatan kita, yang memberikan informasi paling luas tentang dunia luar.
Bagaimana Kita Melihat, Mendengar dan Mengecap?
Proses penglihatan terjadi melalui cara yang sangat canggih. Paket-paket cahaya (foton) yang melintas dari objek ke mata melewati lensa di bagian depan mata. Paket-paket cahaya ini terpecah-pecah dan jatuh terbalik pada retina di bagian belakang mata. Di sini, cahaya tersebut diubah menjadi sinyal-sinyal elektris, kemudian dikirimkan oleh sel-sel saraf ke bintik kecil yang disebut pusat penglihatan di bagian belakang otak. Sinyal listrik ini diterjemahkan sebagai sebuah citra setelah melalui serangkaian proses. Tindakan melihat sebenarnya terjadi dalam bintik kecil ini, yang merupakan tempat gelap pekat dan terisolasi total dari cahaya.

Sekarang, marilah kita kaji kembali proses yang tampaknya biasa dan tidak istimewa ini. Saat kita mengatakan “kita melihat”, sebenarnya kita melihat efek impuls yang mencapai mata dan muncul di dalam otak setelah cahaya diubah menjadi sinyal listrik. Jadi ketika kita mengatakan “kita melihat” sebenarnya kita sedang mengamati sinyal-sinyal elektris di dalam otak kita.
Semua citra yang kita lihat dalam kehidupan dibentuk di dalam pusat penglihatan, yang hanya beberapa kubik sentimeter dari keseluruhan volume otak. Baik buku yang sedang Anda baca maupun dataran tanpa batas yang Anda lihat ketika menatap cakrawala tercakup dalam ruangan kecil ini. Hal lain yang harus diingat adalah bahwa otak terisolasi dari cahaya, di dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada kontak antara otak dengan cahaya itu sendiri.

Kita dapat menjelaskan situasi menarik ini dengan sebuah contoh. Andaikan ada sebuah lilin menyala di depan kita. Kita bisa duduk di depan lilin tersebut dan memperhatikannya untuk beberapa lama. Selama itu otak kita tidak pernah bersentuhan langsung dengan cahaya lilin. Bahkan ketika kita melihat cahaya lilin, bagian dalam otak kita gelap gulita. Kita melihat dunia yang berwarna-warni dan cerah di dalam otak kita yang gelap.

R.L. Gregory memberikan penjelasan berikut tentang aspek menakjubkan dari melihat, suatu kegiatan yang kita anggap biasa saja:
Kita begitu terbiasa dengan melihat sehingga diperlukan lompatan imajinasi untuk menyadari bahwa terdapat kerumitan di balik ini. Tetapi cobalah pikirkan hal ini. Mata kita diberi citra kecil dan terbalik, dan kita melihat benda-benda nyata di sekitar kita. Dari pola simulasi pada retina mata inilah kita memahami dunia benda, dan ini adalah suatu keajaiban. 


Proses mendengar terjadi dengan cara yang sama. Telinga luar menangkap suara melalui daun telinga dan membawanya ke telinga bagian tengah; telinga bagian tengah meneruskan dan memperkuat getaran suara ini ke telinga bagian dalam; telinga bagian dalam mengubah getaran suara ini menjadi sinyal-sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Seperti halnya mata, tindakan mendengar berakhir di pusat pen-dengaran dalam otak. Otak kita terisolasi dari suara seperti halnya terisolasi dari cahaya. Oleh karena itu, bagaimanapun gaduhnya di luar, bagian dalam otak sunyi senyap.

Meskipun demikian, suara paling lemah pun bisa ditangkap dalam otak. Proses ini sangat presisi sehingga telinga orang sehat mampu mendengarkan suara apa pun tanpa gangguan atau interferensi asmosferik. Dalam otak yang terisolasi dari suara, Anda menangkap simfoni orkestra, kebisingan di tempat ramai dan semua jenis suara dalam rentang frekuensi yang lebar mulai dari desir dedaunan hingga deru pesawat jet. Namun jika pada saat itu tingkat suara dalam otak Anda diukur dengan suatu peralatan sensitif, akan didapati bahwa di dalam otak sepenuhnya sunyi.

Persepsi kita tentang aroma terbentuk dengan cara yang sama. Molekul-molekul 'volatil' (mudah menguap) yang dikeluar-kan benda seperti vanila atau mawar mencapai reseptor (sensor penerima) berupa rambut-rambut lembut di daerah epitel hidung sehingga terjadilah interaksi. Interaksi ini disampaikan ke otak sebagai sinyal elektris dan dipahami sebagai aroma. Segala sesuatu yang kita cium, baik yang enak maupun tidak, pada hakikatnya adalah pemahaman otak terhadap interaksi molekul-molekul volatil yang diubah ke dalam sinyal-sinyal elektris. Anda menangkap bau parfum, bunga, makanan kegemaran, laut atau aroma lain yang Anda suka ataupun tidak, di dalam otak Anda. Molekul-molekul itu sendiri tidak pernah menyentuh otak. Jadi sama dengan pendengaran dan penglihatan, yang sampai ke otak Anda hanya sinyal-sinyal listrik. Dengan kata lain, semua aroma yang sejak lahir Anda anggap berasal dari objek-objek luar, sebenarnya hanya sinyal-sinyal elektris yang Anda rasakan melalui indra.

Demikian pula dengan empat macam reseptor kimiawi di bagian depan lidah manusia. Sensor-sensor ini menangkap rasa asin, manis, asam dan pahit. Setelah serangkaian proses kimia, sensor-sensor rasa mengubah persepsi rasa ini ke dalam sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Sinyal-sinyal ini dipahami sebagai rasa oleh otak. Rasa yang Anda peroleh ketika Anda memakan coklat atau buah yang Anda suka merupakan interpretasi sinyal-sinyal elektris oleh otak. Anda tidak pernah dapat menjangkau objek di luar tersebut;

Anda tidak pernah dapat melihat, mencium atau merasakan coklat itu sendiri. Sebagai contoh, jika saraf pengecap yang terhubung ke otak dipotong, apa pun yang Anda makan tidak akan sampai pada otak; Anda akan kehilangan kemampuan mengecap.

Sampai di sini, kita mendapati fakta lain: kita tidak pernah bisa yakin bahwa apa yang kita rasakan ketika kita mengecap makanan adalah sama dengan apa yang orang lain rasakan ketika dia mengecap makanan yang sama, atau apa yang kita tangkap ketika kita mendengar bunyi adalah sama dengan apa yang ditangkap orang lain ketika dia mendengar bunyi yang sama. Terhadap fakta ini, Lincoln Barnett mengatakan bahwa tidak seorang pun dapat mengetahui apakah orang lain melihat warna merah atau mendengar nada C sama dengan yang dilihat dan didengarnya.


Indra peraba kita tidak berbeda dengan indra lainnya. Ketika kita meraba sebuah objek, semua informasi yang membantu kita mengenali dunia luar dan objek-objek dibawa ke otak oleh saraf pada kulit. Rasa sentuhan dibentuk dalam otak kita. Berlawanan dengan keyakinan umum, kita merasakan sentuhan bukan di ujung jari atau kulit melainkan di pusat sentuh di dalam otak. Sebagai hasil tafsiran otak terhadap stimulan-stimulan elektris yang datang dari suatu objek, kita menangkap rasa yang berbeda dari objek-objek tersebut seperti keras atau lunak, panas atau dingin. Kita mendapatkan semua detail informasi yang membantu kita mengenali sebuah objek dari stimulan seperti ini.

Dua filsuf terkenal, B. Russell dan L. Wittgeinstein, mengungkapkan pemikiran mereka tentang fakta penting ini sebagai berikut:
Sebagai contoh, apakah sebuah jeruk benar-benar ada atau tidak dan bagaimana buah ini menjadi ada tidak bisa dipertanyakan dan diselidiki. Sebuah jeruk hanya terdiri dari rasa yang dikecap lidah, aroma yang dicium hidung, warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya sifat-sifat inilah yang dapat dijadikan bahan pengujian dan penelitian. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah tahu dunia fisik. Tidak mungkin kita menjangkau dunia fisik. Semua objek di sekeliling kita adalah kumpulan persepsi dari penglihatan, pendengaran dan sentuhan. Dengan mengolah data di pusat penglihatan dan di pusat-pusat sensoris lain, seumur hidup otak kita berhadapan bukan dengan materi “asli” yang ada di luar kita, melainkan dengan tiruan yang terbentuk di dalam otak. Pada titik inilah kita keliru mengasumsikan bahwa tiruan-tiruan ini adalah materi-materi sejati di luar kita.

Dunia Luar dalam Otak Kita

Berdasarkan fakta-fakta fisik yang telah digambarkan sejauh ini, kita dapat meyimpulkan sebagai berikut: segala sesuatu yang kita lihat, sentuh, dengar dan indrakan sebagai “materi”, “dunia” atau “alam semesta” tidak lain hanya sinyal-sinyal listrik dalam otak kita.
Seseorang yang memakan buah pada hakikatnya tidak berhadapan dengan buah sebenarnya tetapi dengan persepsi tentang buah dalam otak. Objek yang dianggap sebagai buah oleh orang tersebut sebenarnya terdiri dari kesan-kesan elektris di dalam otak mengenai bentuk, rasa, bau dan tekstur buah. Jika saraf penglihatan yang terhubung ke otak tiba-tiba rusak, citra buah akan hilang secara tiba-tiba. Putusnya saraf yang menghubungkan sensor-sensor di hidung dengan otak akan mengganggu proses penciuman. Singkatnya, buah hanyalah interpretasi sinyal-sinyal listrik oleh otak.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesan jarak. Jarak, misalnya antara Anda dan buku ini, hanya perasaan hampa yang terbentuk di dalam otak. Objek yang tampak jauh dalam pandangan seseorang terbentuk juga di dalam otak. Sebagai contoh, seseorang yang melihat bintang-bintang di langit beranggapan bahwa bintang-bintang tersebut berada dalam jarak jutaan tahun cahaya darinya. Akan tetapi, apa yang dia “lihat” sebenarnya adalah bintang-bintang dalam dirinya sendiri, yaitu di dalam pusat penglihatannya. Ketika Anda membaca kalimat-kalimat ini, Anda sebenar-nya tidak berada di dalam ruangan yang Anda kira, sebalik-nya ruanganlah yang berada di dalam diri Anda. Karena melihat tubuh Anda, Anda jadi berpikir bahwa Anda berada di dalamnya. Akan tetapi, Anda harus ingat bahwa tubuh Anda juga sebuah citra yang dibentuk di dalam otak.

Hal yang sama berlaku pada semua persepsi Anda lainnya. Sebagai contoh, ketika Anda berpikir bahwa Anda mendengar suara televisi di kamar sebelah, Anda sebenarnya sedang mendengarkan suara tersebut di dalam otak Anda. Anda juga tidak dapat membuktikan bahwa kamar tersebut benar-benar ada di sebelah kamar Anda, atau bahwa suara televisi datang dari kamar tersebut. Baik suara yang Anda pikir datang dari jarak beberapa meter maupun bisikan seseorang di sebelah Anda, ditangkap oleh pusat pendengaran yang berukuran hanya beberapa senti-meter persegi di dalam otak Anda. Terlepas dari pusat persepsi ini, tidak ada konsep seperti kanan, kiri, depan atau belakang. Jadi suara tidak datang pada Anda dari kanan, kiri atau dari udara; tidak ada arah dari mana suara tersebut datang.

Aroma yang Anda tangkap demikian pula; tidak satu aroma pun yang sampai kepada Anda dari jarak jauh. Anda beranggapan bahwa hasil akhir yang terbentuk di dalam pusat penciuman adalah aroma objek di luar. Akan tetapi, sebagaimana citra mawar di dalam pusat penglihatan Anda, aroma bunga ini pun berada di dalam pusat penciuman; tidak ada mawar atau aromanya di luar.

Dunia luar”yang ditunjukkan oleh persepsi kita hanya kumpulan sinyal listrik yang sampai pada otak kita. Sepanjang hidup kita, sinyal-sinyal ini diproses oleh otak dan kita hidup tanpa menyadari bahwa kita telah keliru menganggap sinyal-sinyal tersebut sebagai wujud asli objek-objek yang berada di “dunia luar”. Kita telah terpedaya karena kita tidak pernah dapat menjangkau materi itu sendiri dengan indra kita.
Lagi-lagi, otak kitalah yang menafsirkan dan memaknai sinyal-sinyal yang kita anggap sebagai “dunia luar. Sebagai contoh, marilah kita perhatikan indra pendengaran. Sesungguhnya otak kitalah yang mengubah gelombang suara di “dunia luar” menjadi sebuah simfoni. Sehingga dapat dikatakan bahwa musik adalah persepsi yang dibuat oleh otak kita. Dengan cara yang sama, ketika kita melihat warna, apa yang sampai pada mata kita hanya sinyal-sinyal listrik dengan beragam panjang gelombang. Sekali lagi otak kitalah yang mengubah sinyal-sinyal ini menjadi warna.

Tidak ada warna di “dunia luar”. Apel juga tidak merah, langit tidak biru atau pohon tidak hijau. Apel, langit dan pohon terlihat seperti itu hanya karena kita mengindranya seperti itu. Dunia luar sepenuhnya tergantung pada pengindraan seseorang.

Bahkan kerusakan kecil pada retina mata dapat menyebabkan buta warna. Ada orang yang menangkap warna biru sebagai hijau, ada yang menangkap merah sebagai biru dan ada pula yang melihat semua warna sebagai abu-abu dengan beragam intensitas. Dalam hal ini, tidak penting lagi apakah objek di luar berwarna atau tidak.
Pemikir terkemuka, Berkeley, juga mengungkapkan fakta ini:
Pada awalnya, dipercaya bahwa warna, aroma dan sebagainya “benar-benar ada”, tetapi berangsur-angsur pandangan seperti itu ditinggalkan, dan kemudian dipahami bahwa hal-hal tersebut tergantung pada pengindraan kita.
Sebagai kesimpulan, kita melihat objek berwarna bukan karena objek tersebut memang berwarna atau memiliki eksistensi material independen di luar diri kita. Kebenaran materi adalah bahwa semua sifat yang kita berikan kepada suatu objek sebetulnya ada di dalam diri kita dan bukan di “dunia luar”.

Jadi, apa yang tersisa dari dunia luar”?
 Apakah Keberadaan “Dunia Luar” Sangat Diperlukan?
Sejauh ini kita telah berbicara berulang-ulang tentang “dunia luar” dan dunia persepsi yang dibentuk di dalam otak kita. Persepsi inilah yang sebenarnya kita lihat. Tetapi karena kita tidak pernah benar-benar menjangkau “dunia luar”, bagaimana kita yakin bahwa dunia ini benar-benar ada?
Sebenarnya kita tidak bisa yakin. Karena setiap objek hanya merupakan kumpulan persepsi dan persepsi-persepsi itu hanya ada di dalam otak, lebih tepat dikatakan bahwa dunia yang benar-benar ada adalah dunia persepsi. Satu-satunya dunia yang kita tahu adalah dunia yang ada dalam pikiran kita: dunia yang dirancang, direkam, dan dihidup-kan di sana; pokoknya dunia yang diciptakan dalam pikiran kita. Dunia persepsi inilah satu-satunya dunia yang dapat kita yakini.

Kita tidak pernah dapat membuktikan bahwa persepsi-persepsi yang kita amati di dalam otak memiliki korelasi secara materi. Persepsi-persepsi itu bisa saja berasal dari “sumber-sumber artifisial”.
Fenomena ini bisa saja diamati. Rangsangan palsu dapat menghasilkan “dunia materi” imajiner di dalam otak. Sebagai contoh, mari kita pikirkan sebuah alat perekam canggih yang dapat merekam semua jenis sinyal-sinyal elektris. Pertama, kita kirim semua data yang berhubungan dengan suatu situasi (termasuk citra tubuh) ke dalam alat ini dengan mengubah data tersebut menjadi sinyal-sinyal elektris. Kedua, kita anggap bahwa otak Anda masih berfungsi meskipun terpisah dari tubuh Anda. Akhirnya, kita hubungkan alat perekam ini ke otak dengan sebuah elektroda yang berfungsi sebagai saraf dan dapat mengirimkan data yang telah direkam sebelumnya ke otak. Dalam keadaan ini, Anda akan merasa seolah-olah Anda hidup dalam situasi buatan ini. Sebagai contoh, Anda dapat dengan mudah percaya bahwa Anda sedang mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi di jalan tol. Jadi tak pernah mungkin memahami bahwa Anda hanya terdiri dari sebuah otak. Ini semua karena yang di-perlukan untuk membentuk dunia dalam otak Anda bukan keberadaan dunia nyata, melainkan ketersediaan stimulasi. Sangat mungkin stimulasi-stimulasi ini berasal dari sumber buatan seperti sebuah perekam.

Dalam hal ini, filsuf ilmu pengetahuan terkemuka, Bertrand Rusell, menulis:
Sentuhan yang terasa ketika kita menekan meja dengan jari-jari kita, yaitu gangguan elektris pada proton dan elektron di ujung jari kita. Menurut fisika modern, hal ini dihasilkan oleh kedekatan proton dan elektron pada meja. Jika gangguan elektris yang sama pada ujung jari kita ditimbulkan dengan cara lain, kita masih merasakan meja di ujung jari kita, walaupun meja tersebut tidak ada. 

Memang kita mudah tertipu, mempercayai suatu persepsi walaupun dalam kenyataannya tidak ada materi yang berkaitan dengannya. Kita sering mengalami perasaan ini dalam mimpi. Dalam mimpi, kita mengalami kejadian, melihat orang, objek dan lingkungan yang tampak nyata. Tetapi semuanya hanya persepsi. Tidak ada perbedaan mendasar antara mimpi dan “dunia nyata”; keduanya dialami dalam otak.


Siapakah Sang Pelaku Pengindraan?
Seperti yang telah kita bahas sejauh ini, tidak ada keraguan terhadap fakta bahwa dunia yang kita pikir kita diami dan kita sebut “dunia luar” dibentuk di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan penting. Jika semua kejadian fisik yang kita ketahui, pada hakikatnya adalah persepsi, bagaimana dengan otak kita? Karena otak kita adalah bagian dari dunia fisik seperti halnya lengan, kaki atau objek lain, maka otak pun seharusnya merupakan persepsi seperti semua objek lainnya.

Sebuah contoh tentang mimpi akan membuat masalah ini menjadi lebih jelas. Mari kita pikirkan bahwa kita melihat mimpi dalam otak kita sesuai dengan apa yang telah dikatakan sejauh ini. Di dalam mimpi kita akan memiliki tubuh imajiner, lengan imajiner, mata imajiner dan otak imajiner. Jika selama mimpi kita ditanya “Di mana Anda melihat?”, kita akan menjawab “Saya melihat di dalam otak saya”. Meskipun sebenarnya tidak ada otak untuk kita bicarakan, hanya ada kepala imajiner dan otak imajiner. Yang melihat citra-citra ini bukan otak imajiner dalam mimpi, melainkan sesuatuyang jauh lebih superior daripadanya.

Kita tahu bahwa tidak ada perbedaan fisik antara situasi mimpi dan situasi yang kita sebut sebagai kehidupan nyata. Jadi ketika dalam setting yang kita sebut dunia nyata kita ditanya “di mana Anda melihat” maka jawaban “di dalam otak” sama tidak berartinya dengan contoh di atas. Pada kedua kondisi, entitas yang melihat dan merasa bukan otak, yang bagaimanapun hanya seonggok daging.
Ketika otak dianalisa, yang ditemukan hanya lipida dan protein, molekul yang juga terdapat pada organisme lain. Berarti di dalam sepotong daging yang kita sebut “otak”, tidak ada apa pun yang dapat digunakan untuk mengamati citra, membangun kesadaran atau mencipta seseorang yang kita sebut “saya”.

R. L. Gregory merujuk kekeliruan yang dilakukan orang-orang berkaitan dengan persepsi citra di dalam otak:
Ada godaan, yang harus dihindari, untuk mengatakan bahwa mata menghasilkan gambar di dalam otak. Gambar di dalam otak berarti memerlukan sejenis mata internal untuk melihatnya tetapi mata internal ini akan memerlukan mata lain lagi untuk melihat gambarnya dan seterusnya tanpa akhir antara mata dan gambar. Ini benar-benar absurd.

Fakta inilah yang menempatkan materialis yang tidak mempercayai apa pun kecuali materi sebagai kebenaran dalam kesulitan. Milik siapakah “mata di dalam” yang melihat, yang memahami apa yang dilihatnya dan bereaksi?

Karl Pribram juga menyoroti pertanyaan tentang siapakah sang pelaku pengindraan tersebut, suatu pertanyaan penting di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat :
Sejak zaman Yunani, filsuf-filsuf telah berpikir tentang “hantu di dalam mesin”, orang kecil di dalam orang kecil” dan seterusnya. Di manakah “saya”, orang yang menggunakan otaknya? Siapakah dia yang menyadari tindakan memahami? Seperti dikatakan Saint Francis of Assisi: “Yang kita cari adalah siapa yang melihat

Sekarang mari kita renungkan: buku di tangan Anda, ruangan di mana Anda berada, singkatnya, semua citra di depan Anda dilihat di dalam otak. Apakah atom-atom yang melihat citra ini? Atom yang buta, tuli, dan tidak memiliki kesadaran? Apakah tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa senang, merasa tidak bahagia dan semua hal lainnya terdiri atas reaksi elektrokimia antara atom-atom ini?

Ketika kita memikirkan pertanyaan ini, kita melihat bahwa mencari kehendak dalam atom adalah tidak masuk akal. Jelas bahwa sesuatu yang melihat, mendengar dan merasa adalah wujud supramaterial. Wujud ini “hidup” dan dia bukan materi atau citra materi. Wujud ini berhubungan dengan persepsi di depannya dengan menggunakan citra tubuh kita.

Wujud ini adalah jiwa”.
Kumpulan persepsi yang kita sebut dunia materi” adalah impian yang diamati oleh jiwa ini. Seperti halnya tubuh yang kita miliki dan dunia materi yang kita lihat dalam mimpi kita tidak memiliki realitas, alam semesta yang kita diami dan tubuh yang kita miliki juga tidak memiliki realitas.
Wujud yang memiliki realitas adalah jiwa. Materi hanya terdiri atas persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa. Wujud berakal yang menulis dan membaca kalimat-kalimat ini bukan kumpulan atom dan molekul — serta reaksi kimia di antaranya — melainkan sebuah “jiwa”.

Wujud Mutlak yang Nyata
Semua fakta ini membawa kita langsung pada pertanyaan yang sangat penting. Jika sesuatu yang kita akui sebagai dunia materi hanya terdiri dari persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa, lalu apa sumber persepsi-persepsi ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mempertimbangkan fakta berikut: materi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur eksistensinya sendiri. Karena materi adalah sebuah persepsi, maka materi bersifat “artifisial”. Keberadaan persepsi ini harus disebabkan oleh kekuatan lain, yang berarti bahwa persepsi sebenarnya diciptakan. Selain itu, penciptaan ini harus kontinu. Jika tidak ada penciptaan kontinu dan konsisten, maka apa yang kita sebut materi akan menghilang dan musnah. Mirip dengan televisi, di mana sebuah gambar akan ditayangkan selama sinyal dipancarkan. Jadi siapa yang membuat jiwa kita melihat bintang, bumi, tanaman, orang, badan kita dan semua yang kita lihat?

Sangat jelas bahwa ada Pencipta Agung, yang telah menciptakan seluruh dunia materi, yaitu kumpulan persepsi, dan yang meneruskan penciptaan-Nya tiada henti. Karena Pencipta ini menunjukkan penciptaan yang demikian hebat, Dia pasti memiliki daya dan kekuatan abadi.
Segala Sesuatu yang Anda Miliki pada Hakikatnya Adalah Ilusi
Sebagaimana terlihat dengan jelas, merupakan fakta ilmiah dan logis bahwa “dunia luar” tidak memiliki realitas materialistis tetapi merupakan kumpulan citra yang dihadapkan secara terus-menerus kepada jiwa kita oleh Tuhan. Akan tetapi, orang biasanya tidak memasukkan, atau cenderung tidak mau memasukkan segala sesuatu ke dalam konsep “dunia luar”.

Jika Anda memikirkan hal ini dengan tulus dan berani, Anda akan menyadari bahwa rumah, perabotan di dalamnya, mobil yang mungkin baru saja dibeli, kantor, perhiasan, rekening di bank, koleksi pakaian, suami atau istri, anak-anak, rekan sejawat, dan semua yang Anda miliki sebenarnya termasuk dalam dunia luar imajiner yang diproyeksikan kepada Anda. Segala sesuatu yang Anda lihat, dengar, atau cium singkatnya, Anda tangkap dengan kelima indra adalah bagian dari “dunia imajiner” ini. Suara penyanyi favorit Anda, kerasnya kursi yang Anda duduki, parfum yang aromanya Anda suka, matahari yang menghangatkan tubuh Anda, bunga dengan warna yang indah, burung yang terbang di depan jendela Anda, speedboat yang bergerak cepat di atas air, kebun Anda yang subur, komputer yang Anda gunakan di tempat kerja, hi-fi dengan teknologi tercanggih di dunia..

 
Ini adalah kenyataan, karena dunia ini hanyalah kumpulan citra yang diciptakan untuk menguji manusia. Manusia diuji sepanjang hidupnya yang terbatas dengan persepsi-persepsi yang tidak mengandung realitas. Persepsi-persepsi ini sengaja dihadirkan secara menggoda dan memikat.

Fakta yang kami gambarkan dalam bab ini, yaitu bahwa segala sesuatu adalah citra, merupakan hal yang sangat penting karena implikasinya membuat semua nafsu dan batas-batas menjadi tidak berarti. Pembuktian fakta ini memperjelas bahwa segala sesuatu yang dimiliki, kekayaan, anak-anak yang mereka banggakan, suami atau istri yang mereka anggap sebagai bagian terdekat, teman-teman mereka, tubuh mereka, kedudukan tinggi yang mereka pertahankan, sekolah yang telah mereka ikuti, liburan yang mereka lalui: semuanya hanyalah ilusi.

Oleh karena itu, semua usaha yang dikerahkan, waktu yang dihabiskan serta ketamakan mereka, terbukti tidak berguna.
Itulah mengapa sebagian orang secara tidak sadar mempermainkan diri sendiri ketika mereka membanggakan kekayaan dan harta, atau “kapal pesiar, helikopter, pabrik, perusahaan, rumah dan tanah” mereka, seolah-olah semuanya benar-benar ada. Orang-orang kaya ini dengan bangga bepergian dengan kapal pesiar mereka, memamerkan mobil-mobil mereka, terus membicarakan kekayaan mereka, menganggap bahwa jabatan menempatkan status mereka lebih tinggi dari orang lain, dan terus berpikir bahwa mereka sukses karena semua itu. Orang-orang ini seharusnya memikirkan status apa yang akan mereka dapati bagi diri mereka setelah menyadari bahwa kesuksesan itu bukan apa-apa melainkan ilusi belaka.

Dalam kenyataannya, pemandangan ini sering terlihat dalam mimpi pula. Dalam mimpi, mereka pun memiliki rumah, mobil balap, perhiasan sangat mahal, gulungan uang, serta timbunan emas dan perak. Dalam mimpi, mereka juga menempati status sosial tinggi, memiliki pabrik dengan ribuan pekerja, memiliki kekuasaan untuk mengatur banyak orang, berpakaian yang membuat setiap orang kagum. Seperti halnya membanggakan kepemilikan dalam mimpi membuat seseorang menjadi bahan ejekan, ia pasti akan dipermalukan juga jika membanggakan citra yang dilihatnya di dunia ini. Bagaimanapun juga, baik yang dilihatnya dalam mimpi maupun yang dimilikinya di dunia ini hanyalah citra dalam otak.

Sama halnya, cara orang bereaksi terhadap kejadian-kejadian yang dialami di dunia akan membuat mereka malu ketika menyadari kenyataan sebenarnya. Mereka yang saling bertengkar sengit, berteriak-teriak marah, menipu, menerima suap, terlibat pemalsuan, berbohong, rakus menimbun uang, berbuat salah terhadap orang lain, memukul dan mengutuk orang lain, menjadi penindas, berambisi pada pekerjaan dan status, iri hati, pamer, menganggap diri sendiri suci, dan sebagainya, akan malu ketika menyadari bahwa mereka telah melakukan semua perbuatan ini dalam mimpi.



Logika Pendek Materialis
Sejak awal bab ini, dengan jelas dinyatakan bahwa materi bukan wujud mutlak seperti yang dikatakan materialis, melainkan kumpulan rasa yang diciptakan Tuhan. Materialis menolak mentah-mentah realitas yang merusak filsafat mereka dan mengajukan antitesis yang tidak berdasar.

Sebagai contoh, salah satu pendukung filsafat materialisme abad ke-20, seorang Marxis tulen bernama George Politzer memberikan “contoh bis” sebagai “bukti terkuat” keberadaan materi. Menurutnya, filsuf-filsuf yang berpikir bahwa materi adalah persepsi, akan lari ketika mereka melihat bis (yang akan menabrak mereka), dan ini bukti eksistensi fisik materi.


Ketika seorang materialis terkenal lainnya, Johnson, diberitahu bahwa materi hanya kumpulan persepsi, dia mencoba “membuktikan” eksistensi fisik batu dengan menendangnya
Contoh serupa diperlihatkan oleh Friedrich Engels, pembimbing Polit-zer dan pendiri materialisme dialektik bersama Marx. Ia pernah menulis “jika kue yang kita makan hanya persepsi, maka kue itu tidak akan menghilangkan rasa lapar kita”.

Masih banyak contoh dan kalimat kasar lainnya seperti “Anda akan mengerti eksistensi materi setelah Anda ditampar” dalam buku-buku materialis terkenal seperti Marx, Engels, Lenin dan lainnya.
Kekacauan pemahaman yang menyebabkan materialis memberikan contoh-contoh di atas adalah karena penjelasan “materi adalah persepsi” dipahami sebagai “materi adalah permainan cahaya”. Mereka berpikir bahwa konsep persepsi hanya pada penglihatan dan bahwa persepsi seperti sentuhan memiliki korelasi fisik. Contoh bis yang menabrak orang membuat mereka berkata, “Lihat, terjadi tabrakan, jadi itu bukan persepsi”. Mereka tidak memahami bahwa semua persepsi yang dialami dalam tabrakan bis seperti hantaman, benturan, dan rasa sakit terbentuk dalam otak.

Mimpi sebagai Contoh 

Contoh terbaik untuk menjelaskan realitas ini adalah mimpi. Seseorang dapat mengalami kejadian yang sangat nyata dalam mimpinya. Dia bisa jatuh dari tangga sehingga kakinya patah, mengalami kecelakaan mobil yang fatal, tergilas bis, atau makan kue dan merasa kenyang. Kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari itu juga dialami dalam mimpi secara meyakinkan dan menimbulkan perasaan yang sama pula.
Seseorang yang bermimpi bahwa dirinya tertabrak bis dapat membuka matanya kembali di rumah sakit masih dalam mimpinya dan menyadari bahwa dirinya cacat, tetapi semuanya hanya mimpi. Dia juga bisa bermimpi bahwa dia meninggal dalam sebuah tabrakan mobil, malaikat maut mengambil jiwanya, dan kehidupannya di alam baka dimulai. (Kejadian yang sama dialami dengan cara yang sama dalam kehidupan ini, yang sebenarnya hanya persepsi seperti mimpi tersebut.)

Orang ini dengan sangat jelas menangkap citra, suara, rasa benturan, cahaya, warna, dan semua perasaan lain yang berkaitan dengan kejadian yang dialaminya di dalam mimpi. Persepsi yang diterima dalam mimpi-nya sama wajarnya dengan persepsi dalam kehidupan “nyata”. Kue yang dimakannya di dalam mimpi mengenyangkannya, meskipun kue tersebut hanya persepsi, sebab rasa kenyang pun merupakan persepsi. Padahal pada saat itu, dalam kenyataan, orang ini sedang berbaring di tempat tidur. Sebenarnya tidak ada tangga, lalu lintas, dan bis. Orang yang bermimpi mengalami serta melihat persepsi dan perasaan yang tidak ada di dunia luar. Kenyataan bahwa di dalam mimpi, kita mengalami, melihat, dan me-rasakan kejadian-kejadian tanpa korelasi fisik dengan “dunia luar”, secara jelas mengungkapkan bahwa “dunia luar” sebenarnya hanya terdiri dari persepsi-persepsi.

Mereka yang meyakini filsafat materialisme, dan terutama penganut Marxisme, menjadi sangat marah ketika kenyataan ini diungkapkan. Mereka mengutip contoh-contoh pemikiran dangkal dari Marx, Engels, atau Lenin dan membuat pernyataan yang emosional.

Akan tetapi, orang-orang ini mesti berpikir bahwa mereka juga dapat membuat pernyataan ini di dalam mimpi mereka. Dalam mimpi, mereka juga dapat membaca “Das Kapital”, menghadiri pertemuan, berkelahi dengan polisi, terkena pukulan di kepala, bahkan merasakan sakit pada luka-luka mereka. Ketika mereka ditanya dalam mimpi, mereka akan berpikir bahwa apa yang mereka alami dalam mimpi juga terdiri atas “materi absolut”— sebagaimana mereka menganggap segala sesuatu yang mereka lihat ketika bangun adalah “materi absolut”. Akan tetapi, baik dalam mimpi atau dalam kehidupan sehari-hari, semua yang mereka lihat, alami atau rasakan hanya terdiri atas persepsi-persepsi.

Contoh Penyambungan Saraf secara Paralel 

Marilah kita pikirkan tabrakan mobil yang dicontohkan Politzer. Dalam kecelakaan ini, jika saraf orang yang tertabrak — yang menghubungkan kelima indra dengan otaknya — dihubungkan dengan otak orang lain, misalnya otak Politzer, melalui sambungan paralel, maka pada saat bis menabrak orang tersebut, bis yang sama akan menabrak Politzer yang sedang duduk di rumahnya. Dengan kata lain, semua perasaan yang dialami orang tersebut akan dialami oleh Politzer, seperti halnya lagu yang sama didengarkan dari dua pengeras suara yang terhubungkan ke tape recorder yang sama. Politzer akan merasa, melihat dan mengalami bunyi rem bis, benturan bis pada tubuhnya, gambaran lengan patah dan darah tertumpah, nyeri patah tulang, gambaran dirinya memasuki ruang operasi, kerasnya gips dan lemahnya tangan.

Setiap orang yang terhubung ke saraf tersebut secara pararel, akan mengalami kejadian yang sama dari awal hingga akhir seperti Politzer. Jika orang dalam kecelakaan tersebut mengalami koma, mereka semua akan mengalami koma. Bahkan jika semua persepsi yang berkaitan dengan kecelakaan direkam dalam suatu alat dan jika semua persepsi ini ditransmisikan ke seseorang, maka bis akan menabrak orang ini berkali-kali.
Dengan demikian, bis penabrak manakah yang benar-benar ada? Filosofi materialis tidak memiliki jawaban konsisten untuk pertanyaan ini. Jawaban yang benar adalah mereka semua mengalami kecelakaan mobil secara mendetail di dalam pikiran mereka sendiri.
Prinsip yang sama berlaku pada contoh kue dan batu.

Jika saraf dari organ indra Engels, yang merasa puas dan kenyang setelah makan kue, dihubungkan secara pararel ke otak orang kedua, maka orang ini juga akan merasa kenyang seperti Engels. Jika saraf Johnson, yang merasakan kakinya sakit ketika menendang batu dengan keras, dihubungkan ke orang kedua secara paralel, orang ini juga akan merasakan sakit yang sama.

Jadi, kue atau batu mana yang benar-benar ada? filsafat materialis kembali tidak mampu memberikan jawaban konsisten untuk pertanyaan ini. Jawaban yang benar dan konsisten adalah: baik Engels dan orang kedua telah memakan kue dalam pikiran mereka dan merasa kenyang; baik Johnson dan orang kedua mengalami saat-saat menendang batu dalam pikiran mereka.

Mari kita buat perubahan dalam contoh kasus Politzer. Kita hubungkan saraf orang yang tertabrak bis ke otak Politzer, dan sebaliknya kita hubungkan saraf Politzer yang duduk di rumah ke otak orang yang tertabrak bis. Dalam kasus ini, Politzer akan merasa bahwa bis telah menabraknya meskipun dirinya sedang duduk di rumah; sedangkan orang yang sebenarnya tertabrak tidak akan pernah merasakan akibat kecelakaan tersebut dan merasa bahwa dirinya sedang duduk di rumah Politzer. Logika yang sama berlaku pula untuk contoh kue dan batu.

Sebagaimana terlihat, manusia tidak mungkin melampaui dan terlepas dari indranya. Dalam hal ini, jiwa manusia dapat dihadapkan pada semua macam situasi meskipun tidak memiliki tubuh, tidak berwujud materi dan tidak memiliki bobot materi. Tidak mungkin manusia menyadari hal ini karena ia berasumsi bahwa citra tiga dimensi ini benar-benar ada dan sangat meyakini keberadaannya karena setiap orang tergantung pada persepsi yang dibentuk oleh organ-organ sensorinya.


Pembentukan Persepsi dalam Otak Bukan Filsafat Melainkan Fakta Ilmiah
Materialis mengatakan bahwa apa yang telah kita bahas dalam buku ini adalah pandangan filsafat. Akan tetapi, pernyataan bahwa “dunia luar” merupakan kumpulan persepsi adalah fakta ilmiah yang jelas, bukan sebentuk filsafat. Bagaimana citra dan perasaan terbentuk di dalam otak telah diajarkan secara detail di semua sekolah kedokteran. Fakta-fakta tersebut, yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan abad ke-20, khususnya bidang fisika, dengan jelas menunjukkan bahwa materi tidak memiliki realitas absolut dan bahwa setiap orang dapat dikatakan sedang mengamati “monitor di dalam otaknya”.

Setiap orang yang meyakini ilmu pengetahuan, baik ia ateis, penganut Buddha, atau meyakini pandangan lain, harus menerima fakta ini. Seorang materialis mungkin mengingkari keberadaan Pencipta namun ia tidak dapat menolak kenyataan ilmiah ini.
Ketidakmampuan Karl Marx, Friedrich Engels, Georges Politzer dan lainnya memahami fakta sederhana dan jelas ini masih mengejutkan, sekalipun pemahaman dan kemungkinan ilmu pengetahuan di masa mereka memang tidak mencukupi. Di masa sekarang, kemajuan ilmu dan teknologi serta penemuan-penemuan terakhir mempermudah kita memahami fakta ini. Akan tetapi, materialis justru diliputi ketakutan untuk memahami fakta ini dan menyadari bagaimana keyakinan mereka akan hancur karenanya.

Ketakutan Besar Materialis

Buku ini mengungkapkan fakta bahwa materi hanya suatu persepsi. Untuk sementara waktu, tidak ada serangan balik yang substansial dari kalangan materialis Turki terhadap pemikiran-pemikiran yang diungkapkan di sini. Karenanya, kami mendapat kesan bahwa maksud kami belum mereka tangkap dengan jelas dan diperlukan penjelasan lebih lanjut. Akan tetapi, belum lama ini, terungkap bahwa materialis merasa gelisah atas kepopuleran pemikiran ini dan bahkan sangat takut padanya.

Kata-kata ini secara eksplisit menunjukkan bahwa fakta yang menggusarkan Lenin dan ingin ia keluarkan dari pikirannya dan “kameradnya”; yang juga meresahkan materialis dewasa ini. Akan tetapi, Pekunlu dan materialis lain mengalami keadaan lebih menyusahkan; karena mereka sadar bahwa sekarang fakta ini dikemukakan dengan cara dan bentuk lebih eksplisit dan meyakinkan daripada 100 tahun lalu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, persoalan ini dijelaskan dengan cara yang tidak mungkin ditolak.
Meski demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sejumlah besar ilmuwan materialis tidak sungguh-sungguh menanggapi fakta bahwa “materi hanyalah ilusi”. Persoalan yang dijelaskan dalam bab ini adalah salah satu persoalan paling penting dan menarik yang pernah dijumpai seseorang dalam hidupnya. Mereka pasti belum pernah menghadapi persoalan sepenting ini sebelumnya. Namun, reaksi ilmuwan-ilmuwan itu atau sikap mereka dalam ceramah dan artikel mereka mengisyaratkan betapa dangkalnya pemahaman mereka.
Dalam sebuah artikel yang ditulis khusus mem-bahas masalah ini, Senel menerima bahwa dunia luar ditangkap oleh otak sebagai sebuah citra. Akan tetapi, kemudian ia menyatakan bahwa citra terbagi menjadi dua jenis yaitu citra berkorelasi fisik dan citra yang tidak berkolerasi fisik, dan bahwa citra dunia luar termasuk ke dalam citra yang berkolerasi fisik. Untuk mendukung pernyataan-nya, ia memberikan "contoh telepon". Ringkasnya, ia menulis: “Saya tidak tahu apakah citra dalam otak saya berkolerasi dengan dunia luar atau tidak, tetapi hal yang sama berlaku ketika saya berbicara di telepon. Ketika saya berbicara di telepon, saya tidak dapat melihat orang yang saya ajak bicara, tetapi saya dapat mengkonfirmasikan percakapan tersebut ketika saya bertemu langsung dengannya”.



Sebenarnya, orang-orang ini juga mengalami kejadian yang sama di dalam mimpi mereka. Sebagai contoh, Seseorang dapat saja melihat dalam mimpinya bahwa ia berbicara di telepon dan kemudian meminta orang yang ia ajak bicara mengkonfirmasikan pembicaraan tersebut. Atau sesorang dalam mimpinya mengalami “ancaman serius” dan menyarankan orang-orang membaca buku-buku Lenin yang sudah kuno. Apa pun yang mereka lakukan, para materialis ini tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa kejadian-kejadian yang mereka alami dan orang-orang yang mereka ajak bicara di dalam mimpi hanyalah persepsi belaka.

Lalu kepada siapakah seseorang dapat mengkonfirmasi bahwa citra di dalam otak berkorelasi atau tidak? Apakah kepada wujud bayangan di dalam otaknya lagi?

Sebenarnya fakta yang dijelaskan di sini dapat dengan mudah ditangkap oleh orang dengan tingkat pemahaman dan penalaran normal. Setiap orang yang berpikiran lurus akan mengetahui, sehubungan dengan semua yang telah kita bicarakan, bahwa ia mustahil menguji keberadaan dunia luar dengan indranya. Namun, terlihat jelas bahwa ketaatan buta terhadap materialisme telah mengganggu penalaran manusia.

Materialis Telah Terperosok dalam Perangkap Terbesar Sepanjang Sejarah

Sepanjang sejarah manusia, pemikiran materialis selalu hadir. Mereka menentang Tuhan yang menciptakan mereka karena sangat yakin pada diri sendiri dan filsafat yang mereka pegang. Skenario yang mereka rumuskan menyatakan bahwa materi tidak bermula dan tidak pula berakhir, dan semua materi tidak mungkin memiliki Pencipta. Mereka mengingkari Tuhan hanya karena kesombongan, dengan berlindung di balik materi yang mereka anggap memiliki keberadaan nyata. Mereka begitu meyakini filsafat ini sehingga menganggap tak mungkin ada penjelasan yang membuktikan sebaliknya.
Semua alasan di atas menjelaskan mengapa fakta-fakta yang disajikan dalam buku ini, yang berkaitan dengan sifat-sifat sejati materi, sangat mengejutkan mereka. Penjelasan buku ini telah menghancurkan dasar filsafat mereka dan tak menyisakan apa pun untuk dibicarakan lagi. Materi, yang telah menjadi dasar pemikiran, kehidupan, kesombongan dan penolakan mereka, lenyap tiba-tiba. Bagaimana materialisme bisa bertahan jika materi tidak ada?
Tuhan menjebak materialis dengan membuat mereka berasumsi bahwa materi benar-benar ada, dan mempermalukan mereka dengan cara-Nya. Materialis beranggapan bahwa harta benda, status, jabatan, masyarakat lingkungan mereka, seluruh dunia dan lain-lainnya benar-benar ada, dan dengan mengandalkan semua itu mereka menjadi sombong terhadap Tuhan. Mereka menentang Tuhan dengan kesombongan yang melengkapi ketidakpercayaan mereka. Mereka sepenuhnya bergantung pada materi. Akan tetapi, mereka benar-benar tidak memahami bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu.

Kesimpulan
Topik yang telah kami jelaskan sejauh ini merupakan salah satu kebenaran terbesar yang pernah Anda temui dalam hidup Anda. Dengan membuktikan bahwa seluruh dunia materi ini sesungguhnya hanyalah “wujud bayangan”, topik ini menjadi kunci untuk memahami keberadaan Tuhan dan penciptaan oleh-Nya, di samping untuk memahami bahwa Dia-lah satu-satunya wujud mutlak.

Mereka yang memahami permasalahan ini sadar bahwa dunia ini bukanlah tempat seperti anggapan orang pada umumnya. Dunia bukanlah tempat mutlak yang benar-benar ada, seperti yang dipikirkan oleh mereka yang mengembara tanpa tujuan di jalanan, yang bertengkar di klab-klab, yang menyombongkan diri di kafe-kafe mewah, yang membanggakan rumah dan tanah, atau yang mengabdikan hidup mereka untuk tujuan palsu. Dunia hanyalah kumpulan persepsi, sebuah ilusi. Semua orang yang telah kami kutip sebelumnya hanya wujud bayangan yang menyaksikan persepsi ini di dalam otak mereka: meskipun demikian mereka tidak menyadari hal ini.

Siklus imajiner ini digambarkan dalam imajinasi. Yang terlihat hanyalah dalam batas-batas yang digambarkan saja, walau dengan mata pikiran. Di luar, ini seolah-olah dilihat dengan mata kepala. Namun kejadiannya bukan demikian. Itu bukan penunjukan atau jejak di luar. Tidak ada apa pun untuk dilihat. Bahkan wajah seseorang yang dipantulkan oleh cermin pun sebenarnya demikian. Tidak ada kekonstanan di luar. Tidak diragukan lagi, baik kekonstanan dan citra hanya dalam IMAJINASI. Tuhan, Dialah Yang Maha Mengetahui.